RSS
Write some words about you and your blog here

Perasaan

Huh…hari ini tetap seperti biasanya, membosankan. Benar-benar awal tahun ajaran yang menyebalkan. Setiap hari, harus berangkat sekolah, pergi les, atau hanya menonton tv di rumah. Tak ada kegiatan lain. Dan setiap hari, harus selalu menjadi anak baik.

Yah, beginilah aku. Orang yang tak pandai bergaul dan sangat membosankan. Selalu sendirian dan tak punya teman yang cukup dekat. Aku ingin menjadi gadis normal seperti yang lainnya, berjalan-jalan bersama teman-teman, mengobrol dan saling berbagi rahasia, tapi…yaaa…begitulah!

Oh ya, perkenalkan! Namaku Vivi. Umurku 15 tahun. Hobiku…emm…mungkin melamun dan mengkhayal bahwa suatu saat nanti akan ada seorang cowok yang menghampiriku dan ternyata cowok itu memang ditakdirkan untukku, seperti di dongeng-dongeng. Tapi melihat keadaanku sekarang, rasanya tidak mungkin akan seperti itu.

Aku ini sangat sulit berbicara dengan orang lain. Aku juga tidak terlalu ramah pada orang lain. Mungkin itu yang menyebabkan aku tidak punya banyak teman. Habis mau bagaimana lagi? Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup sendiri. Semua orang di rumahku sibuk dengan urusannya masing-masing, tak ada yang mempedulikanku. Jadi, tak ada yang mengajariku bagaimana caranya untuk bergaul dengan orang lain. Wajar saja kan kalau aku begitu?
Ya, mereka semua sibuk. Kakak perempuanku selalu sibuk dengan dunia modelling-nya. Ayahku ada di luar negeri, bekerja. Ia jarang sekali pulang karena sibuk bekerja. Mungkin dalam satu tahun ia hanya pulang satu atau dua kali. Sedangkan ibuku, ia selalu sibuk mengurusi perusahaan yang dibuatnya bersama teman-teman SMU-nya. Dan satu hal yang membuatku bertanya-tanya, mengapa mereka semua bisa tahan dengan kehidupan yang monoton seperti itu. Hanya bekerja, bekerja, dan bekerja saja.

Wah, sudah malam. Aku harus tidur agar besok aku bisa menjadi "anak baik" yang tidak pernah terlambat pergi ke sekolah.

***


Aku membuka mataku. Jam berapa sekarang? Sepertinya masih pukul 1 malam. Ah, siapa itu? Ada seseorang yang sedang duduk di kursi belajarku. Ku amati dia diam-diam. Ia terlihat sedang memandangi burung bangau kertas yang ku taruh di meja belajarku. Tampaknya ia tidak sadar kalau aku sudah bangun. Tapi, siapa dia? Aku tak merasa kalau aku mengenalnya.

"Kyaaa….!" teriakku begitu aku sadar bahwa orang yang berada di kursi belajarku adalah seorang cowok yang tak ku kenal. Ia menoleh ke arahku dan segera menghampiriku.

"Sssst!!!" ia duduk di hadapanku dan menutup mulutku dengan tangannya.

"Tenang! Jangan ribut. Kalau ada yang tahu aku di sini, wah, aku nggak tahu bagaimana nasibku nanti. Aku nggak jahat kok. Tenang ya!" katanya. Aku mengangguk. Ia melepaskan tangannya dari mulutku dan menuju meja belajarku. Kulihat jendela di depan meja belajarku terbuka. Rupanya orang itu masuk dari jendela.

"Wah…di sini enak ya! Bulan dan bintang dapat terlihat dengan jelas. Yah, tidak heran. Ini kan di lantai 2," entah ia berbicara padaku atau pada dirinya sendiri. Tatapannya lurus ke luar jendela. Aku memandanginya. Wajahnya terlihat sedih.

"Kamu pasti bahagia ya tinggal di sini?!" ujarnya tanpa melihat ke arahku. Huh, bahagia apanya? Yang kurasakan hanya kesepian. Aku seperti berada di sebuah penjara bertembok tinggi dan tebal sehingga aku selalu sendirian. Aku menekuk lututku dan membenamkan wajahku di antara keduanya.

"Ah, maaf!" katanya tiba-tiba.

"Maaf untuk apa?" tanyaku. Aku kembali berbaring dan menyelimuti diriku dengan bedcover hitamku. Aku memejamkan mataku.

"Aku tahu, kamu sangat kesepian selama ini," jelasnya.

"Sudah, tak apa. Bukan salahmu," jawabku.

"Sepertinya aku harus pergi sekarang! Besok, aku boleh ke sini lagi?" tanyanya. Terserahlah, ucapku dalam hati, asal dia tidak berbuat macam-macam terhadapku.

"…baiklah, aku akan datang lagi," setelah itu terdengar suara daun jendela ditutup. Rasanya menarik juga. Ada seorang penyusup yang datang ke kamarku malam-malam. Aku tak peduli dia mau apa. Mau mencuri, silahkan saja! Aku tak peduli dengan harta yang kumiliki. Buat apa semua harta itu kalau aku tak bahagia? Yang penting ia tidak berbuat macam-macam padaku, itu saja.

Ah, aku mengantuk. Aku mau tidur.

***

"Vivi!" panggilan itu membuyarkan lamunanku. Aku masih memikirkan kejadian semalam.

"Y…ya, bu?"

"Tolong ibu hapus papan tulis ya?!" pinta guru geografiku. Aku berjalan ke depan kelas dan melirik sekelilingku. Huh, sungguh menyedihkan. Hanya aku yang duduk sendirian. Yang lain mempunyai teman di sebelahnya.
Setelah selesai menghapus papan tulis, aku bergegas duduk di bangkuku. Kenyataan memang tak seindah kehidupan dalam cerita dongeng.

***

Pukul 1 malam, aku tidak bisa tidur. Sebenarnya aku ini sedang apa sih? Sepertinya aku mengharapkan kedatangan orang aneh itu sekali lagi.

Tok, tok! Sepertinya ada seseorang yang mengetuk jendela. Dengan semangat aku membuka jendela kamarku.

"Hai," sapanya sambil masuk ke kamarku. Kemudian ia duduk di kursi belajarku, "Belum tidur?"

Aku membuang muka.

"Haha…masih tetap dingin rupanya!" katanya, "Eh, kita kan belum kenalan?! Aku Fido. Kamu?"

"Vivi," jawabku singkat.

"Oh…ternyata benar. Tapi, aku payah ya? Aku sudah tahu kamu dari dulu tapi baru bisa kenalan hari ini. Aku juga payah, masa harus menyelinap ke rumah orang untuk…" kata-katanya terhenti.

"Apa?" tanyaku.

"Ngg...nggak kok," jelas Fido. Aku mengangkat kedua alisku.

"Ah, tidak usah dipikirkan!!!!" ujar Fido. Sesaat aku dan Fido terdiam.

"Kamu baik!" ucapku tiba-tiba. Aku juga heran mengapa aku tiba-tiba mengucapkannya.

"Eh, makasih. Tapi orang kayak aku nggak bisa dibilang baik. Orang baik pasti nggak akan menyelinap ke rumah orang lain malam-malam hari begini. Lagipula, kamu kan belum mengenalku," Fido memainkan bangau kertas yang ada di meja belajarku.

"I...itu kan perasaanku yang bilang kalau kamu baik! Aku...aku juga nggak tau ke…kenapa aku bilang kalau kamu baik!" Fido tersenyum kecil mendengar jawabanku.

Kata siapa orang baik tidak akan masuk ke rumah orang lain tanpa izin? Buktinya kamu, kamu baik walaupun kamu bilang kamu bukan orang baik karena menyelinap ke rumah orang lain. Hatiku berkata kalau kamu adalah orang baik, meskipun aku belum mengenalmu. Yang bukan orang baik itu keluargaku, mereka tak pernah peduli padaku, hanya uang yang mereka berikan padaku. Apa mereka pikir aku akan bahagia hanya karena mempunyai banyak uang?

Aku juga bukan orang baik, anak baik maksudku. Jauh di dalam hatiku, kalau bisa, aku ingin menjadi anak berandalan saja yang bisa semaunya dan seenaknya, bisa berkelahi jika sedang merasa bosan atau kesepian.

Selanjutnya aku dan Fido terdiam selama hampir setengah jam. Aku dan Fido hanya terdiam menatap bulan yang bersinar terang sambil memikirkan masalah masing-masing.

"Kenapa ya aku sulit bergaul dengan orang lain?" tanyaku tiba-tiba, "Aku ingin seperti gadis normal lainnya, jalan-jalan bersama teman-teman, berbagi cerita dan rahasia dengan teman-teman, aku juga ingin punya banyak teman. Aku…tidak pernah dipedulikan, bahkan oleh keluargaku sendiri," ceritaku. Aku kaget dengan diriku sendiri. Aku menceritakan masalahku pada orang yang baru kutemui kemarin. Entah kenapa, mengobrol dengan Fido rasanya sangat nyaman dan aku bisa mempercayainya.

Fido tersenyum ke arahku.

"Kamu baru saja melakukannya. Kamu baru saja berbagi cerita denganku. Aku temanmu kan?!" aku mengangguk.

"Dan aku peduli padamu. Jadi, kalau kamu merasa kesepian dan merasa tak ada seorang pun yang mempedulikanmu, kamu harus ingat, masih ada aku. Aku mempedulikanmu, aku bisa mengerti perasaanmu…" ucapan Fido terhenti. Ia kembali menatap langit.

"Oya, kalau nanti kamu tak pernah bertemu lagi denganku terus kamu merasa kesepian, yah…ingat aku aja, mm…kamu tahu kan kalau aku peduli padamu…jadi…ya…" Fido menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Baiklah, aku mengerti."

"Aku juga punya saran buat kamu, bukannya sok tua nih. Begini, menurutku kamu harus lebih membuka diri. Terus, jangan anggap semua orang itu sama, jangan pernah menganggap semua orang tidak mempedulikanmu. Kamu juga harus berani untuk bicara dengan orang lain. Kamu pasti bisa punya teman," lanjutnya.

"Terima kasih. Tapi kamu tak perlu menghiburku seperti itu! Lagipula kita kan baru bertemu kemarin."

"Mungkin kamu memang baru bertemu denganku kemarin, tapi aku… Aku sudah tahu kamu sejak dulu," katanya.

"Sejak kapan?" tanyaku.

"Dah…!" Fido langsung pergi tanpa menjawab pertanyaan dariku. Sudahlah, sejak kapannya, itu tidak begitu penting.

***

Tok tok. Aku mengetuk pintu kelas. Aku berjalan menuju bangkuku sambil memikirkan ucapan Fido semalam. Mungkin aku memang harus memberanikan diriku.

Aku menaruh tasku dan menarik napas dalam-dalam. Aku melihat anak-anak yang sudah datang di kelasku. Kira-kira, siapakah anak yang bisa kuajak mengobrol? Ah, anak itu saja!

Aku menghampiri seorang anak perempuan, rambutnya pendek sebahu. Namanya Ditha. Ia teman satu SMP ku.

"Hai, Tha!" sapaku.

"Oh kamu, Vivi!" balasnya hangat. Aku melirik ke arah tangannya. Ada foto seseorang dalam genggamannya. Aku perhatikan baik-baik,

"Lho, kok kamu punya fotonya Fido?" tanyaku heran. Ditha tampak terkejut.

"Mu…mungkin aku salah orang," kataku. Mana mungkin Ditha kenal dengan Fido?!

Ia mengrenyitkan dahinya. Beberapa saat kemudian ia seperti teringat akan sesuatu.

"Oh, kamu kenal sama Fido ya? Ah, iya ya…" Ditha menjentikkan jarinya dan segera mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

"Nih," katanya sambil menyerahkan secarik kertas padaku.

"Ini apa?" tanyaku. Ditha mengangkat bahunya.

"Itu dari Fido buat kamu. Tadi subuh dia nitipin itu untuk aku serahin ke kamu. Mana berani aku lihat isinya, itu kan privacy orang," jelasnya. Aku duduk di samping Ditha dan membuka lipatan kertas itu perlahan.

Dear Vivi,
Maaf ya aku udah menyelinap ke rumah kamu! Sebenernya aku masuk ke rumah kamu, karena aku ingin tahu mengenai kamu lebih jauh. Satu pesanku untuk kamu, percaya semua saranku!
Nah, baik-baik ya temenan sama Ditha, soalnya dia pasti akan merasa kesepian. Kamu tahu kan gimana rasanya sendirian?
Makasih atas segalanya,
Fido

Aku menatap Ditha.

"Fido itu siapa?"

"Lho kamu nggak tahu ya? Dia kan kakak sepupuku. Dulu tuh, rameee banget. Tapi mulai sekarang, mungkin aku akan kesepian. Soalnya, jam 6 tadi dia udah berangkat ke Paris. Dia bakal tinggal di Paris selama 1 tahun. Dia dapat beasiswa, jadi sayang kalau nggak diambil…" jelas Ditha. Dia memandang foto Fido dengan wajahnya yang sedih.

"Kok Fido bisa kenal aku ya?" gumamku yang sepertinya terdengar oleh Ditha.

"Kamu mau tahu kenapa dia bisa kenal kamu?" aku mengangguk.

"Ra-ha-si-a!" katanya. Aku dan Ditha tertawa.

"Aku boleh kan temenan sama kamu?" tanyaku pada Ditha, ragu.

"Kamu ngomong apa sih? Kita kan udah temenan sejak dulu. Aku kira kamu nggak mau temenan sama aku makanya kamu jarang ngobrol sama aku! Tapi…ternyata chip di otak kamu lebih lambat daripada yang ada di otakku ya?!" katanya mengejutkanku.

"Makasih!" seruku, "Tapi, maksud kamu…chip apa?"

Ditha kembali tertawa. "Udah, nggak usah dipikirkan!!"

Aku mengangguk tanda setuju. Kemudian aku memandang Ditha yang tengah menatap foto kakak sepupunya. Aku bisa merasakan sedihnya jika kesepian. Karena itu, aku akan menemani Ditha kapanpun ia mau. Dan aku akan mencoba untuk lebih terbuka sehingga aku bisa berteman dengan yang lain. Mungkin selama ini aku terlalu berpikiran buruk tentang orang lain. Aku tidak akan pernah lagi berpikir bahwa hidupku sangat membosankan, karena sekarang aku punya teman.

Makasih ya Fido, kamu udah mengubah cara pandangku. Soalnya belum pernah ada orang yang menyarankan aku supaya bersikap seperti itu. Karena sebelumnya, aku selalu sendirian.

Tapi, apa mungkin rasa kesepian dan rasa tidak dipedulikan yang selama ini kurasakan, semuanya itu hanya perasaanku saja?

0 komentar:

Posting Komentar